Angka Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Menurun
Jakarta (10/10) – Hasil analisis mendalam tahap awal pada Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2024 yang diinisiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menunjukkan adanya penurunan prevalensi perempuan yang mengalami kekerasan di Indonesia. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kemen PPPA, Desy Andriani menyatakan hasil analisis survei diharapkan dapat menjadi dasar kuat bagi penyusunan kebijakan.
“Hasil analisis dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) tahun 2024 diharapkan dapat menjadi dasar kuat bagi penyusunan kebijakan yang lebih responsif gender, berbasis bukti, serta berorientasi pada pencegahan dan pemulihan korban kekerasan. Analisis ini adalah upaya memahami secara luas faktor – faktor yang meningkatkan kerentanan perempuan terhadap berbagai bentuk kekerasan sekaligus mengidentifikasi faktor pelindung serta dampak kekerasan baik di ranah pribadi maupun publik,” ujar Desy.
Hasil analisis tahap awal SPHPN 2024 menjadi bahan diskusi mendalam pada pertemuan konsultatif pemangku kepentingan pada Kamis (09/10) yang diselenggarakan Kemen PPPA bersama United Nations Population Fund (UNFPA) dan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI).
Secara metodologis, SPHPN 2024 dilakukan secara kuantitatif di 178 kabupaten/kota dengan melibatkan 13.914 responden perempuan berusia 15 – 64 tahun. Pendekatan kualitatif juga dilakukan di 5 provinsi dengan melibatkan penyintas, kerabat laki – laki, tokoh masyarakat, dan pejabat Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).
Hasil survei menunjukkan prevalensi kekerasan fisik terhadap perempuan turun menjadi 7,2% di tahun 2024 dari 8,2% tahun 2021. Sementara itu, prevalensi kekerasan seksual terhadap perempuan turun menjadi 5,3% di tahun 2024 dari 5,7% tahun 2021. Wilayah dengan prevalensi tinggi untuk kekerasan fisik dan/atau seksual dari pasangan tercatat di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua. Sementara wilayah dengan prevalensi tinggi untuk kekerasan fisik dan/atau seksual oleh selain pasangan tercatat di Sulawesi. SPHPN 2024 juga mencatatkan prevalensi praktik Pemotongan atau Pelukaan Genital Perempuan (P2GP) atau sunat perempuan menurun ke angka 46,3% di tahun 2024. Praktik P2GP saat ini masih dipersepsikan sebagai tradisi turun – menurun serta kewajiban agama oleh masyarakat, salah satunya di wilayah Kabupaten Gunung Kidul.
“Penurunan prevalensi kekerasan ini adalah bukti kerja bersama kita melawan kekerasan, semakin kuatnya kesadaran masyarakat untuk menolak kekerasan terhadap perempuan, serta meningkatnya kepercayaan korban untuk berani melapor dan mencari pertolongan,” tambah Desy.
Peneliti sekaligus Training Manager LD FEB UI, Aditya Harin Nugroho turut menyampaikan adanya peningkatan tren keterbukaan perempuan dalam mengungkapkan pengalaman kekerasan yang dialaminya.
“Proporsi perempuan yang melaporkan kekerasan kepada seseorang yang mereka percaya meningkat menjadi 4,2% pada tahun 2024. Kami juga mencatat adanya peningkatan pelaporan kepada kepolisian, fasilitas kesehatan, dan pengadilan. Perubahan norma gender ini kemungkinan besar dipengaruhi oleh kampanye publik, pengesahan Undang – Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), serta intervensi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di daerah rentan,” jelas Aditya.
Dari sisi kesehatan, Direktur Mutu Pelayanan Kesehatan Rujukan Kementerian Kesehatan, Yuli Astuti Saripawan menegaskan bahwa dampak kekerasan terhadap kesehatan menjadi perhatian utama.
“Ini menjadi prioritas utama kami untuk meningkatkan kapasitas Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) agar lebih responsif dalam memberikan layanan kesehatan bagi korban. Penguatan strategi pencegahan dan penanganan kekerasan, serta pemulihan kesehatan reproduksi dan psikis sejalan dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2024 yang menambahkan ketentuan penyediaan psikolog klinis dalam standar pelayanan kesehatan,” ujar Astuti.
Dalam kesempatan tersebut, Desy menyampaikan komitmen Kemen PPPA untuk terus mendukung proses analisis mendalam SPHPN 2024 melalui penguatan data, koordinasi lintas sektor, dan tindak lanjut rekomendasi hasil survei.
“Selanjutnya masih ada proses – proses yang harus dilakukan. Kita harus melakukan in-depth analysis agar mampu memberikan pemahaman yang utuh dan menyajikan data yang akurat. Kami berharap para pemangku kepentingan, seperti Badan Pusat Statistik, Kementerian Kesehatan, Bappenas, Komnas Perempuan, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil dapat terus mengawal hingga proses akhir,” ujar Desy.
Sementara itu, Gender Programme Specialist UNFPA, Risya Qori menyampaikan apresiasi atas keberhasilan Indonesia yang telah melaksanakan SPHPN sebanyak 3 kali.
”Saya sangat menghargai dan bangga Indonesia sudah 3 kali melakukan SPHPN yang berkontribusi pada 5 dari 7 indikator RPJMN 2025 – 2029, khususnya di bidang perlindungan perempuan,” ujar Risya Qori.
Sumber berita dan foto : KemenPPPA