• Hubungi Redaksi
Kirim Tulisan
Akun Saya
Logout
Media Wanita
Kirim Tulisan
  • Berita Utama
  • Gaya Hidup dan Hiburan
  • Kesehatan dan Kecantikan
  • Inspirasi
  • Selebritis
  • Kirim Tulisan
    • login
    • Akun Saya
    • Tulisan Saya
    • Logout
Media Wanita
  • Berita Utama
  • Gaya Hidup dan Hiburan
  • Kesehatan dan Kecantikan
  • Inspirasi
  • Selebritis
  • Kirim Tulisan
    • login
    • Akun Saya
    • Tulisan Saya
    • Logout
No Result
View All Result
Media Wanita
No Result
View All Result
Home Berita Utama

Relasi Kuasa, Negara, dan Krisis Ekologis: Impunitas Kekerasan Seksual Berbasis Gender, Indonesia

Relasi Kuasa, Negara, dan Krisis Ekologis: Impunitas Kekerasan Seksual Berbasis Gender, Indonesia

Fiky Fa Dedy by Fiky Fa Dedy
11 December 2025
in Berita Utama
A A
0
865
SHARES
1.3k
VIEWS

 

Kekerasan seksual terhadap perempuan menjadi persoalan realitas kehidupan sosial di berbagai lingkungan masyarakat, keluarga, tetapi lembaga atau instansi seperti perguruan tinggi bahkan sekolah. Kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa saja dan kapan saja, terutama pada perempuan yang mengingat maraknya kasus tersebut terus meningkat. Situasi ini menjadi ancaman yang menakutkan bagi perempuan, terutama korban utama dalam berbagai bentuk kekerasan menjadi stereotip terhadap perempuan yang dikaitkan dengan daya tarik seksual maupun peran domestik terlihat nyata dalam praktik media massa. Media sering kali membentuk citra yang mengabaikan, meniadakan, atau menyampingkan kepentingan perempuan. Secara simbolis, perempuan diremehkan dan tidak direpresentasikan secara akurat dalam media, yang justru lebih banyak menampilkan konstruksi budaya patriarki. Hal ini tidak mengherankan, mengingat budaya patriarki telah melekat erat dalam kehidupan sehari-hari, yang secara ironis diperparah oleh liputan media yang bias, mengakibatkan tanpa disadari, masyarakat menganggap wajar bahwa perempuan harus bersikap penurut, emosional, serta lebih mengedepankan perasaan dan pada akhirnya memperkuat budaya diam di kalangan korban kekerasan seksual.

Selain itu, komnas HAM mencatat bahwa tahun 2023 terjadi 289.111 kasus. Kekerasan seksual menempati angka tertinggi dengan 15.621 kasus, diikuti oleh kekerasan psikis (12.878 kasus) dan kekerasan fisik (11.099 kasus). Sedangkan tahun 2024 Jumlah korban kekerasan terhadap perempuan dan anak meningkat menjadi 2.041 orang, dengan 893 perempuan dewasa dan 1.148 anak-anak. Kasus Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) naik empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya, mencapai 480 kasus pada triwulan pertama 2024. Mengacu pada tren eskalasi ini, data akhir tahun 2025 menunjukkan bahwa pelanggaran terus meningkat drastis; diperkirakan total kasus kekerasan seksual mencapai lebih dari 18.000, dengan KBGO melonjak hingga melampaui (2.000 kasus). Kenaikan tajam ini menegaskan bahwa penanganan komprehensif atas pelanggaran hak perempuan dan anak masih jauh dari memadai, dan memerlukan intervensi kebijakan yang lebih mendesak.

Kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, sekolah, bahkan lingkungan sehari-hari, khususnya di Indonesia telah menjadi permasalahan serius yang membutuhkan perhatian lebih. Perguruan tinggi, yang seharusnya menjadi ruang institusional bagi mahasiswa dan tenaga pendidik, justru sering kali menjadi tempat terjadinya berbagai bentuk kekerasan seksual.

Fenomena ini tidak terlepas dari adanya relasi kuasa yang asimetris antara dosen, mahasiswa, dan staf akademik, yang menciptakan ketimpangan dalam akses terhadap keadilan dan perlindungan bagi korban, sering kali diperparah oleh impunitas institusional yang melindungi pelaku, bukan korban. Oleh karena itu, diperlukan formulasi kebijakan yang berpihak pada korban guna menciptakan lingkungan pendidikan yang aman, adil, dan bebas dari kekerasan seksual, termasuk mekanisme pelaporan yang rahasia dan tetap menjaga privasi.

Hadirnya kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gendero Violence) atau 16 HAKTP merupakan kampanye internasional untuk mendorong terjadinya upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Adanya Institusi Nasional hak asasi manusia yang ada di Indonesia, yaitu Komnas Perempuan menjadi inisiator berlangsungnya kegiatan ini di Indonesia. Aktivis ini sendiri pertama kali digagas Women Global Leadership Institute tahun 1991 yang disponsori oleh Center for women’s Global Leadership. Pada setiap tahunnya, kegiatan ini berlangsung dari tanggal 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap perempuan hingga tanggal 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Dipilihnya rentang waktu tersebut adalah dalam rangka menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM, serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Keterlibatan Komnas Perempuan dalam kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) telah dimulai sejak tahun 2001.

Kirim Tulisan

Penanggulangan kasus Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KSBG) di lingkungan Perguruan Tinggi (PT) saat ini beroperasi di bawah kerangka hukum ganda, sebuah kondisi yang oleh para ahli hukum kerap disebut sebagai dual track justice system. Secara pidana, payung hukum utamanya adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), yang berfungsi sebagai lex specialis dalam penanganan delik seksual. Secara internal dan dimensi pemulihan, terdapat Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 (Permendikbudristek No. 30/2021) yang secara eksplisit mewajibkan pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS). Kerangka ini, meskipun progresif, menghadapi tantangan data. Ketiadaan data terpusat yang pasti di tingkat kepolisian atau pengadilan secara nasional menyulitkan pemetaan skala impunitas, sementara penanganan di kampus diurus oleh Satgas, seperti yang terjadi pada kasus oknum Universitas Mataram (Unram) yang berproses pidana, menunjukkan adanya dualitas mekanisme. Namun tantangan krusial yang perlu digarisbawahi ialah munculnya fenomena institutional betrayal, sebuah konsep yang diangkat oleh para ahli psikologi dan sosiologi, di mana lembaga (kampus) cenderung memprioritaskan citra dan reputasinya di atas keselamatan penyintas. Penegasan pendapat ini termanifestasi dalam kecenderungan kampus untuk menyelesaikan kasus hanya dengan sanksi administratif (pemecatan/penonaktifan), sebuah solusi yang gagal memenuhi dimensi keadilan transformatif bagi korban. Lebih lanjut, kesulitan pembuktian dalam proses hukum pidana terutama untuk pelecehan non-fisik atau kasus yang telah lama terjadi yang menegaskan kritik feminis hukum terhadap sistem yang menuntut narasi “korban sempurna” dan secara sistematis menafikan bukti non-verbal atau pengalaman subjektif korban.

Sejatinya respons kampus terhadap krisis ini harus disikapi sebagai kewajiban konstitusional negara, sebagaimana diamanatkan Pasal 28G dan 28H UUD 1945, yang menjamin hak dasar warga negara untuk hidup aman dan mendapatkan perlindungan. Ahli Hukum Tata Negara menekankan bahwa otonomi kampus tidak pernah boleh mengalahkan kewajiban negara yang bersifat fundamental dalam menjamin Hak Asasi Manusia (HAM). Kegagalan kampus dalam memproses kasus secara tuntas dapat diinterpretasikan sebagai kelalaian negara (state negligence) dalam memenuhi mandat konstitusionalnya. Oleh karena itu, kontribusi akademik mendesak adanya penguatan posisi hukum Satgas PPKS (termasuk mekanisme rujukan wajib ke APH), integrasi kurikulum berbasis Hak Asasi Manusia (HAM) dan Etika Relasi Kuasa, serta mendorong riset partisipatif untuk mengungkap norma-norma budaya kampus yang melanggengkan kekerasan.

Impunitas Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KSBG) bukan sebagai anomali hukum, melainkan sebagai manifestasi inheren dari kegagalan struktural Negara Hukum. Argumentasi sentralnya adalah bahwa fondasi filosofis dan operasional Negara Hukum yang dibentuk oleh epistemologi patriarki dan antroposentrisme secara fundamental tidak mampu memberikan keadilan yang transformatif. Dalam praktik, Negara Hukum gagal karena penegak hukum (polisi, jaksa, hakim) sering menerapkan lensa androcentris, yang secara sistematis menyalahkan korban (victim blaming) dan melemahkan bukti persetujuan afirmatif (affirmative consent). Impunitas yang dihasilkan siklus kegagalan dalam penyelidikan, penuntutan, dan penghukuman adalah krisis kemanusiaan karena merampas otonomi tubuh korban dan melanggengkan trauma kolektif, menunjukkan kegagalan negara dalam menjalankan peran perlindungan HAM-nya.

Baca Juga

Perempuan Bicara Damai: Dua Sosok Inspiratif Pimpin Dialog “Beda Tapi Mesra” di GKJ Grogol Sukoharjo

28 October 2025
michelle liu

Milan Fashion Night 2025 Michelle Liu Tampilkan Koleksi “Royal Heritage Twist”

28 October 2025
puteri anak dan remaja banten 2025

Keren! 9 Puteri Anak dan Remaja Banten Siap Harumkan Daerah di Tingkat Nasional

21 October 2025
Menkomdigi

Menkomdigi: Pemerintah Perkuat Pemberantasan Judi Daring Hingga ke Akar Transaksi

15 October 2025

Eco-feminisme menyajikan kritik radikal yang mengungkapkan adanya logika dominasi tunggal di balik penindasan perempuan dan eksploitasi alam. Dalam kerangka pandang ini, tubuh perempuan dan alam (bumi) dikonstruksi secara simbolik dan material sebagai sumber daya pasif yang rentan dieksploitasi oleh kuasa patriarki. Kekerasan Seksual Berbasis Gender (KSBG) dilihat sebagai bentuk penaklukan dan ekstraksi otonomi tubuh perempuan, yang berjalan paralel dengan penjarahan lingkungan (seperti deforestasi), keduanya merupakan tindakan ekstraktif terhadap sumber daya. Ironisnya, kedua bentuk kekerasan ini dinormalisasi oleh sistem hukum yang lebih mengutamakan hak milik, akumulasi modal, dan hierarki rasional-maskulin daripada nilai-nilai perawatan (care) dan keberlanjutan

Oleh karena itu, eco-ofeminisme berpendapat bahwa mengatasi impunitas KSBG tidak cukup hanya melalui revisi undang-undang, melainkan memerlukan transformasi paradigma Negara Hukum. Negara harus bergeser dari sekadar melindungi rule of law formal menjadi Negara Keadilan Gender dan Ekologis, dengan mengintegrasikan otonomi tubuh, kesetaraan substantif, dan keutuhan ekosistem ke dalam kerangka kelembagaan. Eco-feminisme menegaskan bahwa keadilan bagi penyintas KSBG adalah satu kesatuan dengan keadilan ekologis, karena keduanya memerangi musuh yang sama: kekuasaan yang mendominasi. Ini menuntut pembuat kebijakan untuk meninggalkan objektivitas palsu dan mengadopsi perspektif kritis untuk melawan struktur kuasa yang menghasilkan impunitas KSBG.

  • Penulis: Fiky Fa Dedy
Tags: kekerasanKekerasan SeksualKekerasan Seksual Berbasis Gender
Share346Tweet216Share61Pin78SendShare
Kirim Tulisan
Previous Post

Telah Dibuka Pendaftaran Ajang Puteri Anak dan Remaja Banten 2026 Buruan Daftar!

Fiky Fa Dedy

Fiky Fa Dedy

Related Posts

Perempuan Bicara Damai: Dua Sosok Inspiratif Pimpin Dialog “Beda Tapi Mesra” di GKJ Grogol Sukoharjo

28 October 2025
michelle liu

Milan Fashion Night 2025 Michelle Liu Tampilkan Koleksi “Royal Heritage Twist”

28 October 2025
puteri anak dan remaja banten 2025

Keren! 9 Puteri Anak dan Remaja Banten Siap Harumkan Daerah di Tingkat Nasional

21 October 2025
Menkomdigi

Menkomdigi: Pemerintah Perkuat Pemberantasan Judi Daring Hingga ke Akar Transaksi

15 October 2025
Please login to join discussion

Sponsored Post

Quinn Depok Ethnic Fashion Festival 2023

Anissa Quinn Puteri Batik Cilik Indonesia 2022 Hadir Dalam Depok Ethnic Fashion Festival (DEFF) 2023

by Redaksi
12 December 2023
6

...

Ry Hyori Dermawan Rilis Single Berjudul 'Indonesia Yang Ku Cinta'

Ry Hyori Dermawan Rilis Single Berjudul ‘Indonesia Yang Ku Cinta’

by Redaksi
13 September 2024
2

...

Media Wanita

Media Wanita menghadirkan berbagai informasi terbaru dan terpercaya tentang Wanita

Follow Us

  • Privacy Policy
  • Pedoman Media Cyber
  • Syarat & Ketentuan Tulisan
  • Syarat dan Ketentuan
  • Disclaimer
  • Hubungi Kami

© 2023 Media Wanita - Informasi dan Berita Khusus Wanita

No Result
View All Result
  • Berita Utama
  • Gaya Hidup dan Hiburan
  • Kesehatan dan Kecantikan
  • Inspirasi
  • Selebritis
  • Kirim Tulisan
    • login
    • Akun Saya
    • Tulisan Saya
    • Logout
  • Login
  • Sign Up

© 2023 Media Wanita - Informasi dan Berita Khusus Wanita